Malam tadi Bapak Blasius bercerita tentang Waerebo dan roda ekonomi yang berputar karena meningkatnya kunjungan wisatawan kesana. Bapak Blasius sendiri merupakan orang asli Waerebo yang sudah bermigrasi ke Desa Denge, dia pun memberitahu bahwa rumah orang tuanya merupakan salah satu rumah dari tujuh rumah yang sering muncul di berbagai foto yang menjadi ikon Waerebo di berbagai promosi wisata tentang Flores khususnya Waerebo . Kunjungan wisatawan ke Waerebo yang meningkat sedikit menambah pendapatan bagi warga Waerebo paling tidak sedikit hasil kopi masyarakat dan juga hasil tenun yang bisa dijadikan oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung disana. Namun dibalik itu ada aturan adat yang mulai dilanggar dikarenakan oknum yang ingin mengambil keuntungan dari kunjungan wisatawan yang ada, salah satunya adalah tentang batas waktu untuk memasuki desa Waerebo. Untuk memasuki desa Waerebo ada peraturan bahwa pengunjung tidak diperbolehkan masuk lebih dari jam 5 sore, alasannya sebenarnya cukup masuk akal karena jalur menuju desa Waerebo merupakan hutan lebat dan ada beberapa bagian jalur yang melalui pinggiran jurang bila berjalan dalam keadaan gelap akan membahayakan khususnya buat pengunjung yang belum terbiasa hiking di hutan. Pada saat kemarin saya tiba di Desa Denge di sore hari ternyata ada beberapa pengunjung yang semuanya orang asing melanjutkan perjalanan ke Desa Waerebo padahal sudah melewati jam yang sudah ditentukan. Menurut Bapak Blasius, guide yang membawa mereka ini memang sengaja untuk mengurangi budget menginap lagi di Desa Denge dan guide itu sudah sering ke desa Waerebo sehingga sudah cukup hapal jalur yang ada walaupun dalam keadaan gelap. Hal ini sebenarnya akan merusak aturan yang ada dan jika ada terjadi sesuatu maka yang akan direpotkan justru masyarakat di desa Waerebo.
Jam 7 pagi saya sudah bersiap untuk menuju Desa Waerebo, di meja makan homestay sudah tersaji menu sarapan berupa mie rebus dan juga kopi hitam yang dipastikan kopi flores dari kebun Bapak Blasius bukan kopi sachet. Rencananya saya hari ini hanya akan one day trip ke desa Waerebo setelah dapat informasi dari seorang driver yang mengantar wisatawan ke Waerebo bahwa 2 hari lagi ada kapal Ferry ke Pulau Sumba dari Aimere. Setelah menghitung waktu perjalanan dari sini hingga ke Aimere paling tidak perlu menyiapkan waktu satu hari satu malam, maka saya memutuskan untuk tidak menginap di Waerebo.
Untuk menuju jalur jalan setapak ke Waerebo bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 10 menit dengan jalan menanjak, dan ada bagian jalan yang rusak jika menggunakan motor metik atau mobil yang tidak terlalu tinggi akan menyangkut bagi pengemudi yang kurang terampil dalam memilih jalan. Kendaraan bermotor tidak bisa melanjutkan perjalanan lagi setelah menemukan jembatan yang di depannya tidak terdapat jalan aspal lagi dan menemukan sebuah shelter sebagai pos awal untuk memulai pendakian. Baru memulai jalan menanjak saya sudah berpapasan dengan seorang wisatawan asing yang turun sendirian. Dia memberitahukan ada beberapa orang yang juga turun pada hari itu dan dia yang jalan pertama dari Waerebo sekitar pukul 7 pagi. Selama perjalanan hampir satu jam saya juga beberapa wisatawan dan masyarakat local, salah satu rombongan wisatawan yang berpapasan adalah tamu yang menginap di homestay Bapak Blasius.
Terdapat satu spot di jalur menuju Waerebo dimana kita bisa memandang laut dan desa Denge dari ketinggian dan posisi ini berada di 900 mdpl. Lokasi yang cocok untuk sekedar beristirahat khususnya bagi kaki-kaki yang tak terlatih sambil menikmati angin yang sejuk yang mendorong awan dari balik perbukitan sehingga menutupi pandangan menuju ke lembah. Rimbunan hutan di lembah yang dalam diiringi kicau burung yang bernyanyi memang menenangkan jiwa, momen seperti ini yang pastinya akan selalu dirindukan. Tak berhenti terlalu lama saya pun melanjutkan perjalanan yang terus menanjak hingga ketinggian yang ditunjukkan oleh GPS sudah mencapai ketinggian 1200 mdpl dan setelah itu jalur pun mulai menurun menuju lembah yang luas dimana mulai terlihat kebun-kebun kopi bertebaran. Terlihat pohon-pohon kopi yang ada hanya memiliki sedikit buah dan itu pun juga masih hijau, hal ini pun menjadi pertanyaan apakah sekarang tidak sedang musim kopi berbuah. Di kejauhan awan yang terus bergerak masih menutupi Waerebo, posisinya yang berada di celah dua punggungan bukit memang tidak akan terlihat jika awan terus menutupi perbukitan yang ada. Namun tak berapa lama angin menghembuskan awan-awan itu ke balik bukit, seperti opening sceen serial kartun “The Simpson” awan pun terbuka layaknya tirai namun yang muncul bukanlah tulisan “The Simpson” namun rumah-rumah berwujud seperti tumpeng yang bernama ‘Mbaru Niang”. Terdapat 7 Mbaru Niang utama yang ada disana, sudah banyak foto yang menampilkan tujuh bangunan ikonik ini di berbagai media travel untuk menggambarkan wujud Waerebo.
Sampai di Waerebo sekitar pukul 10.30 sesuai dengan Bapak Blasius saya pun menuju ke rumah utama yaitu Mbaru Niang yang di tiang atap rumahnya terdapat tanduk kerbau, di rumah itu saya diharuskan permisi tetua adat untuk menyampaikan pesan kunjungan saya ke leluhur Waerebo bahwa saya datang dengan damai dan berniat baik saat mengunjungi Waerebo. Sang tetua adat membacakan mantra-mantra setelah itu beliau menyampaikan pesan dari leluhur bahwa saya diijinkan untuk melakukan aktifitas di Waerebo. Keluar dari rumah utama saya pun disambut oleh pemuda desa yang tampaknya dipersiapkan sebagai pendamping saat berkunjung ke Waerebo. Mereka pun mengantar saya ke Mbaru Niang yang dipersiapkan untuk tamu, di dalamnya saya pun disajikan kopi Waerebo yang tersohor itu. Di dalam Mbaru Niang tamu inilah para tamu tinggal bermalam jika menginap di Waerebo. Terdapat sekitar 40 matras disini untuk 40 orang tamu, terkadang jika musim ramai masyarakat menyiapkan rumah lain untuk menampung tamu. Waerebo sendiri sudah diterangi listrik dengan energi yang bersumber dari matahari. Dukungan NGO asing dan juga CSR dari AQUA yang pernah memiliki program di Waerebo telah meningkatkan fasilitas untuk pariwisata di Waerebo serta dukungan untuk manajemen pariwisata untuk warga disini membuat mereka tidak merasa sungkan lagi untuk menyambut pengunjung yang datang ke Waerebo. Untuk tiap tamu yang berkunjung ke Waerebo akan dikenai biaya 200 ribu rupiah bagi yang tidak menginap dan 325 ribu bagi yang menginap semalam, biaya tersebut sudah termasuk makan 3 kali untuk menginap dan 1 kali bagi yang hanya one day trip dan kopi enak all you can drink 😀
Saya hanya berkunjung one day trip saja ke Waerebo jadi selepas makan siang saya segera turun menuju Desa Denge untuk menuju kota Ruteng untuk menyesuaikan dengan jadwal kapal ferry menuju Sumba. Sebenarnya ingin sekali mengeksplorasi sisi lain Waerebo, mungkin lain kali akan kembali ke tempat ini khususnya kembali untuk menikmati kopinya.