Waerebo, ketika industri wisata merubah budaya dan adat setempat (Riding Bali-NTB-NTT 8)

Malam tadi Bapak Blasius bercerita tentang Waerebo dan roda ekonomi yang berputar karena meningkatnya kunjungan wisatawan kesana. Bapak Blasius sendiri merupakan orang asli Waerebo yang sudah bermigrasi ke Desa Denge, dia pun memberitahu bahwa rumah orang tuanya merupakan salah satu rumah dari tujuh rumah yang sering muncul di berbagai foto yang menjadi ikon Waerebo di berbagai promosi wisata tentang Flores khususnya Waerebo . Kunjungan wisatawan ke Waerebo yang meningkat sedikit menambah pendapatan bagi warga Waerebo paling tidak sedikit hasil kopi masyarakat dan juga hasil tenun yang bisa dijadikan oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung disana. Namun dibalik itu ada aturan adat yang mulai dilanggar dikarenakan oknum yang ingin mengambil keuntungan dari kunjungan wisatawan yang ada, salah satunya adalah tentang batas waktu untuk memasuki desa Waerebo.  Untuk memasuki desa Waerebo ada peraturan bahwa pengunjung tidak diperbolehkan masuk lebih dari jam 5 sore, alasannya sebenarnya cukup masuk akal karena jalur menuju desa Waerebo merupakan hutan lebat dan ada beberapa bagian jalur yang melalui pinggiran jurang bila berjalan dalam keadaan gelap akan membahayakan khususnya buat pengunjung yang belum terbiasa hiking di hutan. Pada saat kemarin saya tiba di Desa Denge di sore hari ternyata ada beberapa pengunjung yang semuanya orang asing melanjutkan perjalanan ke Desa Waerebo padahal sudah melewati jam yang sudah ditentukan. Menurut Bapak Blasius, guide yang membawa mereka ini memang sengaja untuk mengurangi budget menginap lagi di Desa Denge dan guide itu sudah sering ke desa Waerebo sehingga sudah cukup hapal jalur yang ada walaupun dalam keadaan gelap. Hal ini sebenarnya akan merusak aturan yang ada dan jika ada terjadi sesuatu maka yang akan direpotkan justru masyarakat di desa Waerebo.

Jam 7 pagi saya sudah bersiap untuk menuju Desa Waerebo, di meja makan homestay sudah tersaji menu sarapan berupa mie rebus dan juga kopi hitam yang dipastikan kopi flores dari kebun Bapak Blasius bukan kopi sachet. Rencananya saya hari ini hanya akan one day trip ke desa Waerebo setelah dapat informasi dari seorang driver yang  mengantar wisatawan ke Waerebo  bahwa 2 hari lagi ada kapal Ferry ke Pulau Sumba dari Aimere. Setelah menghitung waktu perjalanan dari sini hingga ke Aimere paling tidak perlu menyiapkan waktu satu hari satu malam, maka saya memutuskan untuk tidak menginap di Waerebo.

Untuk menuju jalur jalan setapak ke Waerebo bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 10 menit dengan jalan menanjak, dan ada bagian jalan yang rusak jika menggunakan motor metik atau mobil yang tidak terlalu tinggi akan menyangkut bagi pengemudi yang kurang terampil dalam memilih jalan.  Kendaraan bermotor tidak bisa melanjutkan perjalanan lagi setelah menemukan jembatan yang di depannya tidak terdapat jalan aspal lagi dan menemukan sebuah shelter sebagai pos awal untuk memulai pendakian. Baru memulai jalan menanjak saya sudah berpapasan dengan seorang wisatawan asing yang turun sendirian. Dia memberitahukan ada beberapa orang yang juga turun pada hari itu dan dia yang jalan pertama dari Waerebo sekitar pukul 7 pagi. Selama perjalanan hampir satu jam saya juga beberapa wisatawan dan masyarakat local, salah satu rombongan wisatawan yang berpapasan adalah tamu yang menginap di homestay Bapak Blasius.

20170719_075001
Papan pemberitahuan sebelum memasuki jalur tracking menuju Waerebo

Terdapat satu spot di jalur menuju Waerebo dimana kita bisa memandang laut dan desa Denge dari ketinggian dan posisi ini berada di 900 mdpl. Lokasi yang cocok untuk sekedar beristirahat khususnya bagi kaki-kaki yang tak terlatih sambil menikmati angin yang sejuk yang mendorong awan dari balik perbukitan sehingga menutupi pandangan menuju ke lembah. Rimbunan hutan di lembah yang dalam diiringi kicau burung yang bernyanyi memang menenangkan jiwa, momen seperti ini yang pastinya akan selalu dirindukan. Tak berhenti terlalu lama saya pun melanjutkan perjalanan yang terus menanjak hingga ketinggian yang ditunjukkan oleh GPS sudah mencapai ketinggian 1200 mdpl dan setelah itu jalur pun mulai menurun menuju lembah yang luas dimana mulai terlihat kebun-kebun kopi bertebaran. Terlihat pohon-pohon kopi yang ada hanya memiliki sedikit buah dan itu pun juga masih hijau, hal ini pun menjadi pertanyaan apakah sekarang tidak sedang musim kopi berbuah.  Di kejauhan awan yang terus bergerak masih menutupi Waerebo, posisinya yang berada di celah dua punggungan bukit memang tidak akan terlihat jika awan terus menutupi perbukitan yang ada. Namun tak berapa lama angin menghembuskan awan-awan itu ke balik bukit, seperti opening sceen serial kartun “The Simpson” awan pun terbuka layaknya tirai namun yang muncul bukanlah tulisan “The Simpson” namun rumah-rumah berwujud seperti tumpeng yang bernama ‘Mbaru Niang”. Terdapat 7 Mbaru Niang utama yang ada disana, sudah banyak foto yang menampilkan tujuh bangunan ikonik ini di berbagai media travel untuk menggambarkan wujud Waerebo.

20170719_090731
Desa Dengen dan laut di kejauhan terlihat di ketinggian 900 mdpl di jalur menuju Waerebo
20170719_094230
Kabut masih menutupi desa Waerebo
20170719_113250
Ketika awan sudah berpindah dan penampakan ikonik dari Waerebo yaitu rumah Mbaru Niang terlihat

Sampai di Waerebo sekitar pukul 10.30 sesuai dengan Bapak Blasius saya pun menuju ke rumah utama yaitu Mbaru Niang yang di tiang atap rumahnya terdapat tanduk kerbau, di rumah itu saya diharuskan permisi tetua adat untuk menyampaikan pesan kunjungan saya ke leluhur Waerebo bahwa saya datang dengan damai dan berniat baik saat mengunjungi Waerebo. Sang tetua adat membacakan mantra-mantra setelah itu beliau menyampaikan pesan dari leluhur bahwa saya diijinkan untuk melakukan aktifitas di Waerebo. Keluar dari rumah utama saya pun disambut oleh pemuda desa yang tampaknya dipersiapkan sebagai pendamping saat berkunjung ke Waerebo. Mereka pun mengantar saya ke Mbaru Niang yang dipersiapkan untuk tamu, di dalamnya saya pun disajikan kopi Waerebo yang tersohor itu. Di dalam Mbaru Niang tamu inilah para tamu tinggal bermalam jika menginap di Waerebo. Terdapat sekitar 40 matras disini untuk 40 orang tamu, terkadang jika musim ramai masyarakat menyiapkan rumah lain untuk menampung tamu. Waerebo sendiri sudah diterangi listrik dengan energi yang bersumber dari matahari. Dukungan NGO asing dan juga CSR dari AQUA yang pernah memiliki program di Waerebo telah meningkatkan fasilitas untuk pariwisata di Waerebo serta dukungan untuk manajemen pariwisata untuk warga disini membuat mereka tidak merasa sungkan lagi untuk menyambut pengunjung yang datang ke Waerebo. Untuk tiap tamu yang berkunjung ke Waerebo akan dikenai biaya 200 ribu rupiah bagi yang tidak menginap dan 325 ribu bagi yang menginap semalam, biaya tersebut  sudah termasuk makan 3 kali untuk menginap dan 1 kali bagi yang hanya one day trip dan kopi enak all you can drink 😀

20170719_104716
Di Mbaru Niang untuk tamu para pengunjung bisa menginap, terdapat 40 matras yang disediakan

Saya hanya berkunjung one day trip saja ke Waerebo jadi selepas makan siang saya segera turun menuju Desa Denge untuk menuju kota Ruteng untuk menyesuaikan dengan jadwal kapal ferry menuju Sumba. Sebenarnya ingin sekali mengeksplorasi sisi lain Waerebo, mungkin lain kali akan kembali ke tempat ini khususnya kembali untuk menikmati kopinya.

Bikepacker, menjadi backpacker menggunakan motor (Riding Bali-NTB-NTT 7)

Pagi itu di hari Selasa 18 Agustus 2017, setelah selesai sarapan dan sedikit bercengkerama tentang aktifitas yang akan dilakukan oleh para penghuni hostel kemudian satu per satu keluar dari hostel. Dari sekian banyak penghuni hostel hanya saya sendiri yang melanjutkan perjalanan menuju Waerebo. Ya, hari ini saya akan menuju Desa Waerebo, desa yang telah menjadi World Heritage dari UNESCO karena keunikan bangunan rumah yang ada disana berbentuk seperti nasi tumpeng. Untuk sampai ke Desa Waerebo tidak bisa menggunakan kendaraan, para pengunjung yang datang menggunakan kendaraan hanya sampai ke Desa Denge dan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke Desa Waerebo selama 2-3 jam. Desa Denge sendiri bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor selama 7 jam dari Labuan Bajo melalui jalur Trans Flores.
Suasana pagi di kota Labuan Bajo sudah cukup ramai dengan berbagai aktifitas, lokasi hostel yang dekat pelabuhan memang cocok untuk turis yang hanya perlu jalan kaki saja untuk menuju pelabuhan. Kapal-kapal wisata sudah bersiap untuk membawa turis ke Taman Nasional Komodo ataupun yang akan island hopping untuk diving/snorkeling. Sementara kuli-kuli pelabuhan sibuk mengangkat berbagai produk dari kapal barang yang sandar semalam. Sebelum mengarungi jalur Trans Flores menuju desa Waerebo motor saya arahkan terlebih dahulu ke pom bensin yang tidak jauh dari kota Labuan Bajo. Sebenarnya isi di tangki masih di atas setengah penuh namun berhubung tidak mengetahui posisi pom bensin berikutnya setelah Labuan Bajo makan untuk amannya lebih baik mengisi penuh di pom bensin terdekat. Memasuki pom bensin antrian sudah mengular sampai sekitar 30 motor belum lagi kendaraan roda empat maupun truk yang mengisi solar. Inilah pandangan pertama situasi pom bensin di Labuan Bajo, yang ada hanya premium dan solar itu pun juga belinya mengantri. Namun situasi seperti ini tidak bisa dikatakan gambaran umum pom bensin yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya pernah mengisi bensin di Larantuka yang berada di Flores Timur tidak sepanjang ini untuk antriannya namun di pulau Alor terkadang juga akan ada kejadian antrian di pom bensin panjang. Selama persediaan bensin masih ada sebenarnya tidak masalah untuk mengantri yang akan menjadi masalah besar bila persediaan tidak ada dipastikan roda perekonomian akan terhambat dikarenakan berkurangnya operasional transportasi yang ada.
Bensin sudah memenuhi rongga tangki motor ini saatnya memacu motor ini, meninggalkan kota Labuan Bajo yang berada di pinggir laut maka jalan menanjak langsung menghadang. Settingan motor yang dibuat oleh pemilik motor sebelumnya memang benar-benar cocok dengan kondisi jalan seperti ini. Akselerasi di gigi rendah yang tinggi benar-benar membuat motor ini menanjak serasa seperti jalan yang datar walau dampaknya bisa menambah boros konsumsi bahan bakar. Memasuki kawasan lembah yang luas dengan jalan datar di tengah persawahan, saya pun kembali terpancing untuk melakukan speed test selain jalan datar, lebar nan mulus juga sepinya kendaraan yang lalu lalang saat itu sehingga motor berhasil menembus kecepatan hingga 110 km/jam. Jika mengendarai motor dengan mesin yang bertenaga lebih besar dan barang yang dibawa tidak sebanyak saat ini mungkin bisa melebihi top speed yang saya capai saat ini. Lembah luas ini dengan jalan yang datar dan tidak banyak tikungan tajam benar-benar menggoda menggeber motor hingga batas maksimal, berhubung pemandangan hanyalah sawah yang mengering sehabis panen maka saya lebih focus untuk melakukan high speed driving. Sempat melewati sebuah pom bensin yang sepi tidak ada antrian di daerah yang bernama Lembor namun karena saking kencangnya sehingga terlalu cepat untuk belok mendadak dan untuk memutar balik rasanya tidak terlalu perlu karena indikator baru berkurang sedikit. Ternyata pom bensin itu merupakan pom bensin terakhir sebelum menuju Desa Denge.
Untuk menuju ke desa Denge, jalur jalan akan berpisah dengan Jalan Trans Flores dan memasuki jalur jalan Satar Lenda dengan bentuk jalan desa yang kecil dan tidak mulus malah boleh dibilang hancur. Postur motor yang tinggi dengan profil ban yang lebar hal ini tidak menjadi masalah bahkan tetap percaya diri dalam memacu motor. Menggunakan motor metik di jalur ini sama saja mengantarkan motor ini dihancurkan secara perlahan khususnya bagian kaki-kaki motor serta ban. Dan dugaan saya benar, saya menemukan dua motor metik yang dikendarai turis mengalami kerusakan ban. Sempat berhenti untuk menanyakan kondisi motornya tampaknya mereka dengan santai tetap melanjutkan perjalanan dan mencari bengkel untuk memperbaikinya. Kedua motor dikendarai oleh turis yang berasal dari Labuan Bajo yang kemungkinan mereka jalan lebih pagi dari saya. Mereka memang berencana untuk melakukan Bikepacker untuk menjelajahi Flores hingga ke Kelimutu. Istilah baru untuk para pelancong yang tidak menggunakan transportasi umum untuk menjelajah tapi menggunakan sepeda motor sewaan. Namun salah satu motor tampaknya akan kembali ke Labuan Bajo setelah dari Waerebo karena motornya mulai tidak nyaman untuk dikendarai. Pastinya jalur jalan Satar Lenda ini telah merusaknya secara perlahan 
Persimpangan amtara Jalan Trans Flores dengan Jalur menuju Satar Lenda sekitar 3 jam di tempuh dari Labuan Bajo dengan high speed driving dan 30 menit istirahat makan siang. Setelah memasuki jalur jalan Satar Lenda dilalui selama 3 jam dengan kecepatan rendah mengingat jalan yang hancur dan menurun akan tiba di Desa Dentor sebuah desa yang berada di tepi pantai sebelum menanjak lagi menuju desa Denge. Saat menuruni jalan menuju Desa Dentor dari kejauhan akan terlihat sebuah pulau, jika melihat dari Google Map pulau itu bernama Pulau Mules. Melihat petunjuk yang ada di peta digital ini arah menuju ke Desa Denge sudah tepat, namun saat jalan sudah menyusuri pantai memasuki Desa Dentor banyak percabangan jalan yang menuju ke atas yang bisa menjebak kita ke jalan yang salah. Alangkah baiknya kita tetap berinteraksi dengan masyarakat lokal untuk menanyakan arah yang tepat dibanding sekedar mengandalkan alat navigasi digital.

20170718_134602
Lembah subur di jalur Satar Lenda
20170719_164600
Pulau Mules, pulau terluar Indonesia yang berada di selatan Pulau Flores menjadi penanda sudah berada Desa Dentor

Persimpangan menuju desa Desa Denge sebenarnya cukup berbeda dengan persimpangan lainnya karena di persimpangan tersebut terdapat keramaian seperti adanya toko kelontong, bengkel, lapak-lapak penjual ikan. Setelah mendapatkan simpang itu maka dilanjutkan ke Utara dengan jalan menanjak. Target saya untuk hari ini tidak langsung menuju Desa Waerebo tapi berhenti untuk bermalam di Desa Denge dan esok harinya baru melanjutkan dengan berjalan kaki ke Desa Waerebo. Setelah 30 menit menanjak sejak Desa Dentor akhirnya sampailah di Desa Denge dan segera mencari Homestay milik Bapak Blasius Monta yang sebelumnya sudah saya cari di Internet tentang tempat untuk bermalam di Desa Denge. Homestay yang bernama Wejang Asih dekat dengan Sekolah Dasar di Desa Denge, kebetulan juga Bapak Blasius merupakan guru di sekolah tersebut.
Saat itu pukul 4 sore ketika tiba di Homestay, udara cukup sejuk walau tidak terlalu tinggi merujuk dari GPS ketinggian tempat ini hanya 300an meter dari permukaan laut. Suasana homestay sepi seperti tidak ada orang, dengan ukuran homestay yang memiliki 8 kamar dan ruang tengah yang lapang tempat ini cukup luas untuk menampung 30 orang tamu. Setelah saya memanggil penghuni yang ada di homestay ini, muncullah seorang anak perempuan dengan ciri khas orang Flores berkulit sawo matang, hidung agak mancung dan rambut ikal kecoklatan seperti terbakar matahari. Ternyata dia adalah anak perempuan Bapak Blasius dan dia memberitahu kalau bapaknya sedang pergi berkebun. Dia pun mempersilakan untuk duduk dulu sambil menunggu bapak pulang sembari menawarkan secangkir kopi. Wow, ini penawaran yang sulit ditolak secangkir kopi Flores dengan origin Manggarai langsung dari kebun dan dan digoreng sendiri oleh sang empunya homestay. Sedikit tentang kopi Flores berdasarkan informasi dari Om Boni (seorang pedagang kopi dan pemilik kafe Kopi Mane yang ditemui di kota Ruteng dalam kisah selanjutnya) bahwa single origin kopi Flores disuplai oleh tiga wilayah yaitu Manggarai, Ruteng dan Bajawa, bila lihat di peta mulai dari ujung barat Pulau Flores yaitu Kabupaten Manggarai Barat hingga setengah ke arah timur Pulau Flores hingga Kabupaten Ngada memang menjadi sentra utama perkebunan kopi di Flores.
Secangkir kopi panas sudah tersaji di meja setelah membongkar barang di motor, menyesap kopi panas di udara yang sejuk memang paling juara. Kopi hitam yang pekat ini rasanya tidak terlihat segahar seperti penampilannya, rasanya yang lembut tidak terlalu pahit dengan keasaman tidak menyiksa perut yang sudah mulai kosong memang cukup bersahabat sambil menunggu malam menjelang. Tak berapa setelah kopi tersaji Bapak Blasius kembali dari kebun, setelah menyapa dan berkenalan dia pun menunjukkan kamar yang bisa saya gunakan. Dia pun memberitahu bahwa saat ini dia masih ada tamu dari Amerika dua orang fotographer yang salah satunya membawa istrinya orang Indonesia dan seorang anak yang saat sedang menginap di Desa Waerebo. Saya pun mengutarakan rencana saya untuk naik ke Desa Waerebo esok hari dan menanyakan bagaimana prosedur untuk naik ke Desa Waerebo. Sebenarnya untuk naik ke Desa Waerebo membutuhkan guide karena jalurnya masuk ke dalam hutan namun berhubung saat itu Bapak Blasius tidak menawarkan guide untuk menemani saya jika memang sanggup untuk jalan sendiri juga tidak apa-apa karena jalur jalan di dalam hutan juga cukup jelas. Setelah mendapatkankan penjelasan seperti itu pun saya tampaknya akan memilih jalan sendiri saja tanpa guide.

20170718_161003
Homestay Wejang Asih milik Bapak Blasius Monta tempat menginap di Desa Denge sebelum memulai mendaki ke Desa Waerebo

Malam pun menjelang sajian makan malam pun tersaji, kami pun makan bersama tidak hanya saya dan Bapak Blasius namun juga dua orang supir yang akan menjemput tamunya yang sedang berada di Desa Waerebo dan dua orang sales rokok dari brand terkenal yang sedang mendistribusikan rokok di wilayah ini. Budaya disini memang mempersilakan kaum laki-laki untuk makan terlebih dahulu, Perempuan dan anak-anak akan makan yang tersisa dari yang dimasak pada saat itu. Memang sedikit kejam tapi saya tidak mau berdebat dengan sang tuan rumah soal hal ini, saya percaya bahwa budaya setiap daerah punya maksud dan tujuan yang mungkin hanya bisa dipahami orang lokal tersebut . Setelah selesai makan malam sajian kopi mulai tersaji dan obrolan mengisi waktu malam sebelum tidur menjadi hal menurut saya bagus untuk memperkaya wawasan tentang Flores. Namun percakapan tak berlangsung lama karena perut sudah Kenyang dan badan sudah terlalu letih kafein kopi pun tak mempan untuk menghalangi rasa kantuk. Berbaring lah dan bermimpilah karena esok hari kaki-kaki tak terlatih ini akan kembali merasakan kembali apa yang namanya jalan menanjak.

Labuan Bajo, kota baru untuk para pelancong seluruh dunia (Riding Bali-NTB-NTT 6)

20170717_143807
Kapal Ferry melalui pulau-pulau yang ada di kawasan Taman Nasional Komodo

 

Saya meyakini bahwa orang Indonesia memiliki kemampuan untuk menjelajah berbagai tempat di seluruh dunia, sejak dulu kala kerajaan besar yang pernah ada di Indonesia memiliki armada laut yang mampu mencapai berbagai tempat di luar wilayah Indonesia yang ada saat ini. Semangat untuk menjelajahi berbagai tempat di dunia yang dilakukan oleh para pelaut tangguh bukan sekedar mencari wilayah kekuasaan baru namun juga berinteraksi dengan bangsa baru untuk tujuan ekonomi atau hal lainnya. Kemampuan menjelajah bangsa Indonesia saat itu bisa bersaing dengan bangsa Eropa yang dianggap memiliki kemampuan dan teknologi yang lebih baik dalam dunia maritim maupun navigasi.

 

Namun berpuluh abad kemudian segala kemajuan telah merubah kemampuan orang Indonesia untuk menjelajah berbagai tempat di dunia. Administrasi antar negara, perbedaan ekonomi antara negara dengan Indonesia, serta teknologi transportasi menyebabkan kemampuan orang Indonesia untuk menjelajahi dunia lain hanya dimiliki orang-orang tertentu saja. Orang Indonesia yang hanya memiliki kemampuan ekonomi menengah ke bawah agak sulit untuk ke luar negeri karena besarnya dana yang dibutuhkan untuk pergi kesana, belum lagi urusan administrasi visa ke negara tertentu khususnya ke Eropa.  Sementara warga negara yang berasal dari Eropa, Amerika Serikat, Australia, Jepang begitu banyak mengalir datang ke Indonesia, selain memiliki visa kunjungan yang bisa  langsung disetujui ketika mendarat di Indonesia juga nilai kurs mata uang mereka yang begitu tinggi terhadap rupiah sehingga mereka cukup nyaman untuk datang ke Indonesia karena biaya hidup yang dikeluarkan sangat terjangkau bagi mereka untuk tinggal cukup lama. Maka berbahagialah bagi yang digaji dolar atau euro tapi tinggal di Indonesia 🙂

Bali saat ini masih destinasi utama untuk berkunjung ke Indonesia dari berbagai bangsa di dunia ini saat pertama kali ingin menjelajah Indonesia. Bali menjadi padat dengan segala sarana dan prasarana pariwisata untuk melayani para wisatawan yang begitu massive berdatangan. Hal ini justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian orang asing yang datang ke Bali. Tempat-tempat di luar Bali yang sebelumnya tidak begitu terkenal mulai banyak dikunjungi apalagi ketika tempat itu makin mudah diakses salah satunya adalah Labuan Bajo.

Labuan Bajo sebuah kota di ujung Barat Pulau Flores merupakan pintu gerbang sebelum menuju ke Taman Nasional Komodo. Taman Nasional Komodo yang dikenal sebagai habitat Komodo hewan purba yang dimiliki oleh Indonesia semakin dikenal dunia tidak hanya karena keberadaan hewan tersebut namun juga laut dan pemandangan dibawah laut yang kaya serta bentang alam yang ada begitu unik memang menjadi daya tarik untuk dikunjungi. Peningkatan kunjungan di Taman Nasional Komodo berbanding lurus dengan perkembangan Labuan Bajo. Akses penerbangan semakin banyak ke Labuan Bajo didukung oleh infrastruktur yang ada. Pertama kali saya mengunjungi Labuan Bajo pada tahun 2011 memang sudah banyak orang dari berbagai bangsa mengunjungi kota ini. Pada tahun tersebut  saya sampai di Labuan Bajo setelah mengikuti paket perjalanan Live on Boat (LoB) dari Lombok yang menghabiskan waktu 4 hari 3 malam dan dari 20 peserte hanya ada 4 orang Indonesia yang salah satunya adalah saya.

Senin  pagi tanggal 17 Agustus 2017 di saat orang Indonesia yang diwajibkan hadir untuk mengikuti upacara bendera sedang bersiap mengibarkan bendera, saya sedang bersiap memasukkan motor ke lambung kapal ferry yang mulai disesaki kendaraan yang akan menuju Labuan Bajo. Tiket kapal ferry dari Pelabuhan Sape Sumbawa menuju Pelabuhan Labuan Bajo Flores sebesar Rp 236.00 lebih mahal dari tiket kapal ferry Pelabuhan Padang Bai Bali ke Pelabuhan Lembar Lombok sebesar Rp 180.000 walau dengan waktu tempuh tidak berbeda jauh jika Bali ke Lombok bisa ditempuh 5-6 jam sedangkan Sumbawa ke Flores ditempuh dalam waktu 7-8 jam. Kapal ferry yang digunakan dari Sumbawa ke Flores tidak sebagus dari Bali ke Lombok, kapal terlihat kotor dengan sampah dimana-mana selain itu ruang yang memiliki pendingin udara tidak berfungsi sehingga ruangan itu menjadi pengap apalagi ditambah asap rokok dari orang-orang yang tidak peduli dengan tanda dilarang merokok. Keluar dari ruangan tersebut dan duduk di geladak kapal yang terbuka menjadi lebih nyaman selain menikmati angin laut juga terkadang lewat rombongan lumba-lumba seperti mencoba mengiringi kecepatan kapal ferry.

Tujuh jam lebih akhirnya kapal ferry ini mulai sandar di Pelabuhan Labuan Bajo, pelabuhan yang pasti lebih ramai dibanding 6 tahun lalu ketika saya pertama kali menjejakkan kaki di kota ini. Motor keluar dari lambung kapal ferry mulai menyusuri jalan kota Labuan Bajo yang saat ini sudah disesaki oleh penginapan, rumah makan, kantor operator diving dan paket perjalanan di Flores, dan juga berbagai bidang usaha yang menyokong industri pariwisata. Lalu lalang turis asing sepanjang jalan utama di Labuan Bajo menandakan geliat pariwisata begitu pesat. Arus lalu lintas di jalan utama Labuan Bajo setelah keluar dari pelabuhan berupa jalan satu arah sehingga untuk memutari kota cukup mengikuti jalan satu arah tersebut. Setelah melakukan satu putaran mengelilingi kota saya mulai mencari penginapan yang sudah saya pesan secara online. Sebuah hostel tidak jauh dari pelabuhan dimana ruangan hostel itu seperti barak besar yang memuat 25 bunk bed yang berarti bisa menampung 50 orang. Pada saat saya memasuki barak tersebut dan meletakkan ransel di tempat tidur yang sudah ditentukan saya perhatikan bunk bed yang ada hampir semua terisi dan dari orang-orang yang ada dipastikan tidak ada orang Indonesia terlihat dari bentuk fisik yang dominan berkulit putih ada yang mulai sedikit gelap tapi ini dipastikan karena terlalu banyak berjemur, hidung mancung, dan juga bahasa yang digunakan bukanlah bahasa Indonesia. Berhubung sudah menjelang malam dan besok pagi akan memulai perjalanan menyusuri Pulau Flores dengan tujuan awal adalah Waerebo yang diperkirakan bisa ditempuh dalam waktu 7-8 dari Labuan Bajo saya memilih untuk beristirahat setelah makan malam. Sedikit sopi dari staff hostel yang sedang berkumpul paling tidak dapat membantu membuat tidur lebih nyenyak walau menurut saya bukan sopi berkualitas bagus.

Pagi hari saat sarapan di hostel hampir semua tamu yang ada sudah bersiap memulai beraktivitas baik yang akan mengunjungi Taman Nasional Komodo, diving/snorkeling di laut sekitarnya, mengunjungi objek wisata lain di sekitar Labuan Bajo, atau melanjutkan perjalanan ke kota lain di Flores. Dan saya tersadar saat itu beberapa bahasa asing digunakan untuk percakapan di antara orang-orang tersebut . Wow, di dalam hostel ini seperti kumpulan berbagai anak bangsa yang didominasi dari Eropa dan saya satu-satunya tamu orang Indonesia. Dan di Labuan Bajo ini para pelancong dari berbagai penjuru dunia memulai perjalanan untuk menemukan surga-surga cantik yang dimiliki Flores.

 

Ride Your Freedom! (Riding Bali-NTB-NTT 5)

20170717_063123
Menanti matahari terbit di Pelabuhan Sape Sumbawa

Pukul 5 pagi tanggal 17 Agustus 2017 mungkin terlalu cepat untuk bangun bagi saya yang bukan termasuk golongan morning person. Tidur yang terlalu awal kemarin dikarenakan kelelahan bisa menjadi faktor saya bisa cepat bangun pagi ini. Terkadang di tempat baru tubuh saya seperti ada alarm untuk bangun lebih awal dibanding tempat yang sudah lama ditinggali. Suasana pelabuhan masih sepi belum ada tanda-tanda penjualan tiket di loket pelabuhan. Di dermaga sudah bersiap dua kapal ferry yang membuka pintu palkanya yang seakan siap menelan muatan kendaraan, barang, maupun manusia. Matahari yang sudah merekah memerahkan langit di atas lautan antara Pulau Sumbawa dan Pulau Flores seperti membakar semangat untuk segera menyusuri Pulau Flores yang menjadi target utama perjalanan ini seperti semangat para pendiri bangsa ini untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan. Pada hari ini tepat sudah72 tahun Indonesia menyatakan diri untuk merdeka dari kekuasaan bangsa asing dan bebas untuk menentukan arah yang diinginkan bangsa ini.

 

Bagi saya para rider merupakan orang yang mencoba menikmati dan memaknai apa arti kebebasan yang saat ini teramat sulit untuk diperoleh dikarenakan tuntutan hidup yang semakin kompleks membuat manusia seperti dijajah oleh hal tersebut.

 

Riding motor dalam waktu lama dan jarak yang jauh sepengetahuan saya hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar bebas merdeka tidak terikat oleh berbagai hal mulai dari pekerjaan dan urusan sosial lainnya, orang yang berani mengambil risiko untuk hari-hari ke depan tidak hanya di sepanjang perjalanan namun setelah selesai melakukan perjalanan. Semua dipertaruhkan untuk menikmati kebebasan dalam menentukan arah yang diinginkan setiap harinya selama tangki bensi masih terisi dan motor masih bisa berjalan. Bagi saya para rider merupakan orang yang mencoba menikmati dan memaknai apa arti kebebasan yang saat ini teramat sulit untuk diperoleh dikarenakan tuntutan hidup yang semakin kompleks membuat manusia seperti dijajah oleh hal tersebut.

Di dermaga pelabuhan Sape sambil menikmati matahari terbit, menatap langit yang memerah dan suara burung laut yang mulai berkeliaran mencari makan saya mencoba merenungkan perjalanan yang sudah dilalui. Bali dan Lombok sudah terlewati dan sekarang berada di ujung Timur Pulau Sumbawa bersiap meninggalkan pulau ini menuju Pulau Flores atau Pulau Sumba. Perjalanan terjauh menggunakan mengendarai motor yang pernah saya lakukan sudah dicapai hingga saat ini dan akan terus bertambah jauh jarak yang akan dicapai. Menikmati dan memaknai kebebasan dibawah bayang-bayang berbagai resiko di sepanjang perjalanan. Dari semua perenungan itu pada akhirnya kembali berujung ke pemilik segala kehidupan, biarlah Dia yang mengatur kehidupan manusia bagaimana pun bentuk kehidupan yang dijalankan tiap insan.

Keheningan pagi itu mulai pecah ketika mulai banyak orang lalu lalang memasuki pelabuhan, bunyi mesin  berbagai kendaraan meramaikan suasana mengalahkan suara bunyi burung laut yang sedang beterbangan. Loket penjualan tiket sudah dibuka dan ternyata yang dijual hanyalah tiket menuju Labuan Bajo di Pulau Flores, sedangkan kapal yang menuju Pulau Sumba kemungkinan baru bisa berlayar 3 hari kemudian menunggu kondisi laut menuju Pulau Sumba cukup kondusif untuk dilayari. Pilihan ditetapkan menuju Labuan Bajo saja daripada harus menunggu 3 hari lagi disini.

Pulau Flores, here i come to continue riding my freedom!

 

Menguji ketahanan kendaraan dan fisik dengan kecepatan hampir 400km/12jam (Riding Bali-NTB-NTT 4)

Semua kendaraan bermotor yang diproduksi diatas tahun 90’an dipastikan memiliki indikator  bahan bakar untuk membantu pengemudi mengetahui sisa bahan bakar yang ada di tangki kendaraannya. Bagi pengemudi kendaraan bermotor di kota besar mungkin tidak terlalu memperhitungkan sisa bahan bakar di kendaraannya secara presisi karena menganggap mudah untuk mencapai pom bensin terdekat. Bagi pengemudi khususnya motor melakukan hal seperti di kota saat melakukan touring ke luar kota yang tidak begitu dikenal sama saja menjebak diri sendiri dalam kesusahan. Sejak memulai perjalanan dari Bali saya sudah mewaspadai hal tersebut dengan cara memperhitungkan daya tempuh yang mampu dilalui dari tangki bahan bakar yang penuh. Bahkan saya menetapkan akan langsung mengisi bahan bakar di pom bensin yang ditemui jika indikator sudah berada dibawah tanda setengah penuh. Kapasitas tangki Yamaha Scorpio motor yang saya gunakan mampu menampung hingga 13 liter, dari hasil perhitungan antar ibukota kabupaten yang ada di Pulau Sumbawa hingga Pulau Flores maupun di Pulau Sumba sangat mencukupi. Kenapa berpatokan dengan ibukota Kabupaten? Karena dipastikan tiap ibukota Kabupaten memiliki pom bensin sehingga persediaan bahan bakar akan tercukupi setiap bertemu ibukota Kabupaten. Namun di kisah berikutnya teori tersebut sedikit terbantahkan karena ada variabel lain yang mempengaruhi teori ketersediaan bahan bakar tersebut. Motor yang saya gunakan sejak berangkat sudah terbiasa menggunakan bahan bakar beroktan RON 92, namun selepas Pulau Lombok ternyata sulit untuk mendapatkan bahan bakar beroktan RON 92 dan hal ini hampir saja menjadi penyebab terhambatnya perjalanan.

Saat menjelang subuh di hari Minggu 16 Agustus 2017 kapal ferry yang membawa saya dari Pulau Lombok bersandar di Pelabuhan Ferry Sape Pulau Sumbawa, matahari baru mulai terbangun sedikit menyemburkan cahaya merah ke langit saat motor saya mulai merayapi aspal Pulau Sumbawa. Saat itu indikator bahan bakar sudah dibawah dari setengah penuh yang berarti jika mengikuti aturan yang telah saya buat harus segera mengisi bahan bakar jika menemukan pom bensin. Sekitar 10 km dari pelabuhan Ferry Pototano akhirnya menemukan pom bensin yang masih buka dan menjual bahan bakar yang saya butuhkan. Pom bensin terlihat lengang seperti tak berpenghuni namun mesin pompa dalam kondisi menyala, klakson motor yang saya bunyikan tak ada yang menggubris padahal klakson motor ini sudah diganti dengan klakson mobil Avanza sehingga akan terdengar lebih keras dan orang akan menyangka ada mobil yang membunyikan klakson. Hampir 5 menit tak ada penampakan petugas pom bensin yang muncul tampaknya mereka entah kemana atau masih terlelap dalam mimpi. Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan harapan bahan bakar akan cukup hingga kota Sumbawa Besar. Keputusan yang diambil tanpa memperhitungkan jarak dari peta dengan bahan bakar yang tersisa justru akan membawa saya ke dalam kesusahan, karena kota Sumbawa Besar itu lebih jauh dari bayangan saya dan jalur yang lalui benar-benar sepi hanya beberapa kali melewati pemukiman yang juga masih belum ada aktifitas manusia.

Saat matahari mulai sedikit memerahkan langit namun jalan yang dilalui masih gelap terutama melewati jalan yang masih memiliki tutupan vegetasi yang lebat. Tiba-tiba mesin motor terasa terhambat dan seperti tidak bertenaga padahal jalan yang dilalui memiliki kondisi yang menanjak dan menurun dan motor makin tidak bertenaga saat menanjak dan akhirnya mesin mati pada saat kondisi menurun. Mesin motor mati di tengah tutupan vegetasi yang lebat walau matahari sedikit memerahkan langit namun tak cukup untuk menerangi jalan yang ditutupi kanopi vegetasi yang lebat. Thanks God, akhirnya saya mendapat cobaan pertama dalam perjalanan ini mesin motor mati di tempat yang jauh dari pemukiman dan dalam kondisi yang masih gelap. Udara dingin pagi itu tiba-tiba terasa sedikit hangat karena adrenalin yang meningkat karena kegelapan jalan itu memunculkan pikiran yang aneh-aneh. Sebenarnya indikator masih berada di daerah merah yang menunjukkan untuk segera mengisi bensin bukan dalam kondisi tangki kosong tapi mesin motor mati. Saya coba beberapa kali untuk men-starter motor namun motor tidak menyala membuat saya harus segera mencari solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Saya pun memilih menenteng motor sambil berjalan berharap ada kampung atau pemukiman di depan sana daripada sekedar bengong di tempat gelap untuk berharap ada kendaraan lewat. Menenteng motor yang berbobot hampir 200 kg bukanlah perkara ringan apalagi ketika jalan sedikit menanjak. Setelah berjalan 100 meter tenaga sudah terkuras apalagi makan malam sebelumnya hanyalah mie instan di dekat pelabuhan Kayangan di Pulau Lombok kurang memasok energi yang cukup dan saya pun memilih untuk istirahat.

Meneguk air dan menikmati sebungkus permen untuk menenangkan diri sambil berpikir apa yang terjadi dengan motor ini. Indikator bahan bakar sebagai patokan sisa bahan bakar yang masih di posisi merah bagi saya masih cukup aman untuk motor tetap menyala tetapi kenapa tiba-tiba mesin mati apakah ada penyebab lain kah? Melihat-lihat bagian motor ini mungkin bisa memecahkan masalah yang terjadi atau menemukan cara untuk menghidupkannya kembali. Waktu seminggu untuk mengenali motor ini mungkin masih ada bagian yang kurang dimengerti ternyata benar adanya. Ternyata motor ini memiliki settingan saluran bahan bakar, dan saat itu di posisi normal. Akhirnya saya paham apa yang terjadi, settingan saluran bahan bakar di motor yang saya bawa ini berbeda dengan motor yang saya miliki di Jakarta. Indikator motor saya di Jakarta sudah digital ditunjukkan batang yang menunjukkan sisa bahan bakar jika indikator batang sudah tidak ada tidak berapa lama motor akan mati sendiri agar tetap menyala setting saluran bahan bakar di geser ke posisi rest agar cadangan bahan bakar bisa dipakai untuk mencari pom bensin terdekat. Sedangkan motor yang saya bawa ini daerah merah di indikator berarti harus segera menggeser settingan saluran bahan bakar di posisi rest agar membuka saluran cadangan bahan bakar sehingga mesin tetap menyala. Thank God, kembali saya mendapat pelajaran untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Posisi sudah diset ke posisi rest dan mesin kembali menyala normal namun untuk menjaga agar motor sanggup sampai kota Sumbawa Besar saya mengisi bahan bakar di pedagang bensin eceran yang baru saja buka pagi itu walau hanya memiliki 2 liter bensin Beroktan RON 88 saya rasa cukup hingga sampai Kota Sumbawa.

 

Inilah esensi sebuah perjalanan, segalanya menjadi nikmat walau dalam kondisi yang paling minim sekalipun.

 

Tiba di sebuah pom bensin di kota Sumbawa di saat matahari sudah cukup menerangi langit dan penduduk kota sudah memulai beraktifitas. Di pom bensin ini untuk terakhir kalinya motor ini bisa menikmati bahan bakar beroktan RON 92  karena setelah ini tidak ditemukan lagi bahan bakar jenis tersebut. Sempat terlintas untuk beristirahat sehari di kota ini, namun semangat saya masih begitu membara untuk melanjutkan perjalanan. Saya pun memilih melanjutkan perjalanan sesanggupnya fisik ini menahan rasa lelah dan kantuk. Jalanan begitu bagus dan mulus seperti makin membuai untuk terus melanjutkan perjalanan. Speed test sempat dilakukan di beberapa segmen jalan, beberapa kali juga kecepatan motor menembus 100km/jam, melakukan speed test sebenarnya juga untuk memacu adrenalin sehingga bisa mengurangi rasa kantuk. Namun kondisi fisik tidak bisa bohong, di perbatasan antara Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Dompu perut mulai lapar, mata mengantuk dan pinggang yang mulai pegal setelah duduk berjam-jam. Sebuah warung makan yang memiliki para-para (tempat untuk rebahan/tiduran) menjadi tempat beristirahat. Pukul 9 pagi akhirnya perut yang sedari tadi berdemo bisa ditenangkan oleh sepiring nasi dengan lauk ayam goreng dengan ditemani tempe goreng dan lalapan. Untuk kelas warung makan yang sederhana seperti ini ayam gorengnya juara rasanya atau mungkin faktor perut yang lapar berat apa pun menjadi enak. Makan enak sudah dan angin sepoi-sepoi di pinggiran jalan jalur lintas Sumbawa di dekat bekas tambak udang membawa tubuh ini terkapar di atas para-para. Inilah esensi sebuah perjalanan, segalanya menjadi nikmat walau dalam kondisi yang paling minim sekalipun. Badan menikmati waktu tidur singkat kurang dari satu jam namun mampu memulihkan dari kelelahan luar biasa, inilah yang disebut power nap. Aroma segelas kopi hitam menambah kesadaran diri bahwa perjalanan ini masih panjang, sedikit tambahan kafein memompa kembali jantung yang selama kurang satu jam sebelumnya mengurangi daya pacunya. Selepas segelas kopi hitam yang sudah kandas, roda motor kembali bergulir di jalan lintas Sumbawa. Setelah satu jam berjalan motor memasuki jalur yang menurut saya pasti menyenangkan bagi para penggila high speed driving dengan kombinasi cornering

This photo is taken by AllWinner's v3-sdv
Jalan yang mengarah ke Timur di pagi hari agak mengganggu pandangan karena sinar matahari yang baru muncul

Adrenalin makin terpacu ketikan memasuki jalur perbukitan yang berada di sisi laut Utara Pulau Sumbawa, kondisi jalan mulus dengan tikungan berbagai bentuk didukung lalu lintas kendaraan yang minim memberi kesempatan untuk latihan cornering ala pembalap motor GP. Melihat kondisi jalan seperti ini, tampaknya layak sekali para penyuka touring motor mencoba untuk menyusuri jalur ini. Tantangan jalur untuk melatih kemampuan berkendara dengan kombinasi pemandangan menghadap laut lepas serta bukit-bukit menguning kering dengan pohon yang meranggas membuat latihan begitu menyenangkan. Namun tetap waspada dan selalu safety driving perlu tetap dilakukan karena ini jalan umum bukan sirkuit balap. Kurang lebih dua jam latihan di jalur ini akhirnya memasuki kota Dompu, ternyata indikator bahan bakar sudah menunjuk di setengah penuh saatnya untuk mengisi bahan bakar yang dipastikan hanya ada bahan bakar beroktan RON 88. Di kota Dompu saya pun sekaligus memperbaiki pedal rem yang bautnya bengkok, memang hanya masalah sepele tapi kalo dibiarkan akan muncul masalah besar. Kemungkinan bengkok karena jalur yang dilalui sebelumnya membuat kaki memainkan pedal rem terlalu berlebihan dan menjadi longgar ke posisi yang tidak sebenarnya.

20170716_113702
Jalan mulus, tikungan yang lebar dan lalu lintas yang minim menjadi godaan untuk memacu kendaraan semaksimal mungkin
20170716_112351
Pemandangan laut Utara Pulau Sumbawa menjadi pengalih perhatian dari jalan aspal dan bukit gersang di Jalan Lintas Sumbawa

Pukul 12 lebih di kota Dompu yang panas, kota yang menjadi pintu masuk sebelum menuju Gunung Tambora memang tidak terlalu menarik untuk beristirahat disini. Perhitungan jarak ke Pelabuhan Sape dari kota Dompu bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Perkiraan bisa tiba pukul 4 sore dirasa masih cukup terang untuk tiba di Pelabuhan Sape. Sempat ada info kapal ferry menuju Labuan Bajo sudah sandar di Pelabuhan Sape memberikan semangat untuk segera kesana dan berharap kapal ferry bisa berlayar sore ini juga sehingga bisa tidur di kapal Ferry tanpa perlu membayar penginapan di hari ini. Motor kembali dipacu walau tidak dengan kecepatan seperti di jalur sebelum kota Dompu. Faktor kelelahan mempengaruhi konsentrasi untuk berkecepatan tinggi, maka dengan kecepatan yang santai berusaha mencapai target ke Pelabuhan Sape sebelum gelap. Setelah melewati kota Bima, jalan mulai bercabang dan sesuai dengan tujuan motor pun diarahkan ke jalur Pelabuhan Sape. Memasuki pelabuhan Sape panasnya matahari dan udara pantai yang kering benar-benar menguras tenaga. Terdapat dua kapal ferry yang sedang sandar di Pelabuhan Sape, satu menuju Labuan Baju di Pulau Flores dan satu lagi menuju Waikabubak di Pulau Sumba. Mmmm, dua pilihan yang menarik namun jawaban siapa yang akan berlayar terlebih dahulu baru terjawab esok hari. Jadi hari ini akan diakhiri di Pelabuhan Sape, sebuah penginapan dekat pelabuhan Sape menjadi tempat berbaring ternikmat hari itu setelah berkendara dengan kecepatan sekitar 400km/12 jam. Dua hari yang panjang diatas motor alangkah baiknya tubuh ini diberi hadiah sebuah kasur empuk dan tidur semalaman karena esok hari akan bertemu lagi pengalaman baru yang tidak bisa ditebak alur ceritanya.

 

Akhir pekan yang sangat panjang dimulai dari Bali (Riding Bali-NTB-NTT 3)

20170715_170013
Pelabuhan Padang Bai di Bali

Matahari pagi di hari Sabtu 15 Agustus 2017 di kawasan Legian dimana saya menginap selama di Bali begitu terik dan langit cerah seperti tanda bahwa semesta mendukung untuk memulai perjalanan panjang merayapi pulau-pulau di Sunda Kecil. Mencoba mencari informasi kabar laut di selat Lombok tampaknya cukup bersahabat untuk dilalui walau angin diperkirakan akan sedikit kencang. Packing barang pertama kali di atas motor belum menemukan komposisi yang pas  dipastikan akan terus mengalami perubahan karena packing akan dilakukan sepanjang perjalanan ini setiap kali berhenti bermalam. Barang bawaan berupa tas ransel ukuran 80 liter dibantu oleh dua sidebag motor jika ditotal mencapai berat 25 kg sebenarnya tidak lah begitu membebani motor karena itu hanya lah berat seperti membonceng anak usia balita namun dimensi tas yang panjang agak merepotkan saat mengikat di atas motor.

Meninggalkan kawasan Legian menjelang sore di akhir pekan terasa seperti di jalanan ibukota Jakarta yang selalu macet kapan saja. Bulan Juli memang menjadi puncak kunjungan wisatawan baik dari dalam dan luar negeri ke Bali, sehingga tidak aneh jika ada sebagian wisatawan asing lebih memilih wilayah lain di Indonesia untuk mendapatkan tempat berlibur yang lebih sepi. Menelusuri jalan By-pass menuju pelabuhan Padang Bai cukup nyaman dilewati, bahkan tes top speed motor ini pun bisa dilakukan di jalur lurus selepas simpang By-pass. Top speed 115 km/jam mampu diukir oleh motor ini dengan kondisi mengemudi cukup stabil walau hanya sebentar dilakukan karena alasan keamanan, paling tidak kemampuan motor ini untuk mencapai top speed cukup mengagumkan namun vibrasi mesin motor ini saat kecepatan tinggi sedikit mengganggu kenyamanan.

Setelah 2,5 jam berkendara dari Legian tibalah di Pelabuhan Padang Bai pelabuhan yang akan menyeberangkan kendaraan dan penumpang dari Pulau Bali menuju Pulau Lombok. Estimasi waktu tempuh sekitar 5 jam jika kondisi cuaca bagus sementara jika cuaca buruk bisa lebih dari 5 jam. Kapal ferry yang saya tumpangi cukup padat oleh kendaraan dan ternyata penumpang juga cukup memadati dek penumpang termasuk juga beberapa wisatawan asing. Sebenarnya ada kapal cepat yang bisa mengantarkan penumpang sampai ke Pulau Lombok dalam waktu tempuh 2-3 Jam ke beberapa tujuan di Lombok seperti Senggigi maupun Gili Trawangan namun berhubung sudah sore jam operasi kapal cepat sudah tidak ada lagi tampaknya mereka memilih untuk menggunakan kapal ferry.

Menuju Lombok menjadi penyeberangan antar pulau yang pertama kali dalam perjalanan ini, perkiraan awal saya akan menggunakan ferry sebanyak 5 kali namun dalam perjalanannya saya pun harus menggunakan 7 kali karena situasi yang memaksakan untuk merubah rencana perjalanan yang berdampak juga ke pengeluaran perjalanan. Dari perhitungan biaya yang dikeluarkan ternyata pengeluaran untuk ongkos ferry berada di peringkat kedua terbesar setelah biaya penginapan.

Sekitar tengah malam tibalah kapal ferry yang membawa saya dari Pelabuhan Padang Bai Bali di Pelabuhan Lembar di Lombok. Berhubung motor saya berada di barisan paling belakang di antara padatnya kendaraan di dalam kapal ferry maka lebih baik menunggu di dalam ruang penumpang dibanding menunggu di ruang kendaraan yang saat itu dipenuhi karbon monoksida dari kendaraan yang mulai memanaskan mesinnya. Lewat tengah malam motor saya sudah bisa keluar dari kapal ferry dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Kayangan di Lombok Timur untuk menyeberang ke Sumbawa. Keputusan untuk melanjutkan perjalanan di tengah malam setelah mendapatkan masukan dari seorang penumpang yang sering lalu lalang ke Lombok Timur di malam hari. Dia memastikan bahwa jalur dari Pelabuhan Lembar ke Pelabuhan Kayangan cukup aman dilalui pada malam hari. Sempat terbersit untuk menginap hingga menunggu fajar sebelum memulai perjalanan menuju Pelabuhan Kayangan, namun di malam Minggu yang panjang ini saya menerobos udara dingin di jalanan yang sepi sepanjang Lombok Tengah menuju Lombok Timur dan berharap tidak ada begal yang menghadang. Jalan lurus, sepi dan panjang yang mengarah ke Bandara Praya kembali memacu untuk melakukan tes top speed, kali ini rekor dipecahkan dengan Top Speed 120 km/jam yang memberikan efek tubuh menggigil walau sudah memakai 4 lapis pakaian memang udara dingin dari Australia yang sedang musim dingin terhembus hingga di pulau-pulau Sunda Kecil dan ini terasa juga saat saya di Flores dan Sumba.

Menjelang pukul 3 dinihari di hari Minggu 16 Agustus 2017 disaat banyak orang sedang terlelap, saya pun memasuki pelabuhan Kayangan di Lombok Timur, tak berapa lama menunggu saya pun sudah masuk di kapal ferry menuju Sumbawa yang saat itu cukup lengang. Penyeberangan dari Pelabuhan Kayangan di Lombok menuju Pelabuhan Pototano di Sumbawa tidak sampai 2 jam namun cukup bermanfaat untuk sekedar tidur saat mata mulai mengantuk. Tidur sudah mulai terlelap di dalam perjalanan menuju Sumbawa, namun tak terasa ternyata kapal sudah tiba di Pelabuhan Pototano. Sekedar membasuh muka untuk menghilangkan kantuk cukup bisa kembali tersadar untuk mengemudi dan dihantam udara dingin kembali. Fajar pertama di pulau Sumbawa begitu cantik dengan semburan warna merah di langit, namun tidak secantik awal perjalanan di pulau Sumbawa baru satu jam saja motor berjalan di Pulau Sumbawa tiba-tiba saja mati dan posisinya jauh dari pemukiman. Damn, akhir pekan yang panjang ini belum berakhir di Pulau Sumbawa…

Mencari motor yang berjodoh  (Riding Bali-NTB-NTT 2)

 Melakukan perjalanan jauh menggunakan motor seorang diri membutuhkan sebuah motor yang tangguh dengan mesin mumpuni, postur motor yang nyaman untuk dikemudikan, dan surat kendaraan yang masih berlaku. Bila menggunakan motor yang sudah dimiliki sejak lama dan juga biasa digunakan sehari-hari itu tidak menjadi masalah karena akan lebih mengenal karakter dan penyakit dari motor itu. Untuk motor yang baru pertama kali dikendarai untuk perjalanan jauh sedikit riskan karena kurang memahami karakter dari motor itu dan tidak mengetahui penyakit yang dimiliki oleh motor itu.

Pemilihan motor untuk perjalanan menyusuri di gugusan pulau di Sunda Kecil dimulai sejak di Jakarta dengan mengaudisi berbagai jenis motor dengan mempertimbangkan harga motor, spesifikasi motor, dan tahun keluarnya motor melalui internet. Semua motor yang diaudisi berada di Bali karena perjalanan akan dimulai dari Bali. Kubikasi mesin motor minimum 150cc dan kapasitas tangki bensin minimum 6 liter menjadi harga mati untuk spesifikasi motor, sehingga dalam pemilihan motor sempat terdapat motor matik Yamaha Nmax masuk dalam list bersaing dengan motor manual lainnya.

Setelah memiliki data yang cukup tentang motor yang dicari maka berangkatlah saya ke Bali untuk menemukan keberadaan motor-motor tersebut. Menemui beberapa pemilik motor, menanyakan berbagai hal tentang kondisi motor yang ada, bernegosiasi harga dan pada akhirnya Yamaha Scorpio tahun 2011 terpilih untuk menjadi tunggangan saya merayapi pulau-pulau di Sunda Kecil. Motor berkubikasi mesin 225cc telah mengalami banyak modifikasi jika dihitung modal modifikasinya mungkin bisa diatas Sepuluh Juta Rupiah. Perubahan kaki-kaki motor merupakan perubahan signifikan pada motor ini justru sangat menguntungkan untuk perjalanan ini. Penggunakan peredam kejut roda depan lebih tinggi daripada standard, arm roda belakang yang besar untuk menopang ban bertapak lebar memberikan kestabilan berkendara di kecepatan tinggi dan juga bisa melewati jalan-jalan berlubang dengan mudah. Penggunaan exhaust Racing R9 memberikan semburan tenaga besar untuk memutar ban besar yang dimiliki motor ini namun untuk penggunaan bahan bakar masih cukup bersahabat.

Motor tunggangan sudah dapat, beberapa aksesoris tambahan untuk menopang barang bawaan akhirnya terpasang…now, I’m ready to go. Bersiap menempuh ribuan kilometer jalan aspal, menyeberangi laut untuk mencapai pulau-pulau yang ada, dan bersiap bercengkerama dengan berbagai anak bangsa yang ada di sepanjang perjalanan, just pray and wish God be with me…

PS: thanks Bli Pande (www.pandebaik.com) untuk transaksi motornya, barangnya kualitas juara…

Scorpio PanDe Baik

Diatas motor merayapi pulau-pulau di Sunda Kecil (Riding Bali-NTB-NTT 1)

20170722_111910

Bagi sebagian orang mengendarai sepeda motor untuk melakukan perjalanan jauh bukanlah pilihan yang menyenangkan, mengarungi perjalanan panjang dengan terpaan matahari yang panas, debu yang beterbangan dan angin dingin langsung menghantam tubuh kita. Untuk yang memiliki kondisi fisik tidak fit ini sama saja mengantarkan badan menuju rumah sakit. Belum lagi ancaman risiko kecelakaan akan lebih tinggi dibanding kendaraan roda empat atau lebih walau dalam kecepatan yang sama.

Namun ada sebagian kecil orang yang begitu mencintai menunggang sepeda motor untuk perjalanan jauh yang hitungannya bukan antar kota antar propinsi tapi bisa antar pulau antar negara. Separuh hari dalam sehari berada diatas motor menyusuri aspal hitam yang siap mematahkan tulang maupun memecahkan kepala bukanlah perkara bagi mereka. Teriknya matahari, dinginnya terpaan angin, bahkan asap dan debu yang siap merusak paru-paru hanyalah hambatan kecil bagi mereka. Menikmati deru mesin dan knalpot, menari diberbagai bentuk tikungan, dan merasakan kebebasan sambil memandang sekeliling yang ada di jalanan itulah yang dicari.

Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, dan Alor merupakan hamparan pulau di gugusan pulau Sunda Kecil. Gugusan pulau Sunda Kecil merupakan pulau-pulau yang berada di sebelah Timur dari Pulau Jawa dimana pada awal kemerdekaan pulau-pulau tersebut tergabung dalam Propinsi Sunda Kecil dan sekarang terpecah menjadi tiga propinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sebenarnya ada pulau-pulau lain seperti Pulau Wetar, Pulau Kisar, Pulau Leti yang masuk dalam Propinsi Maluku yang beribukota di Ambon berada jauh di Utara

Bali dan Lombok bukan pulau asing bagi orang Indonesia atau bahkan dunia terutama Bali sebagai magnet pariwisata di Indonesia menjadi pulau penyumbang devisa terbesar dari industri pariwisata. Lombok sebagai “Bali baru” terus bangkit menyumbang devisa bagi Indonesia dari industri pariwisata.

Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor) yang berada dalam propinsi Nusa Tenggara Timur saat ini sedang menggeliat untuk menampilkan dirinya bahwa empat pulau ini tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Kekuatan utama dari kekayaan alam yang dimiliki saat ini masih menjadi andalan untuk ditampilkan. Para pelancong mancanegara pun mulai ramai mengunjungi pulau-pulau tersebut dimana sebagian dari mereka mulai jenuh dengan keriuhan Bali yang seperti pabrik dari industri pariwisata yang terus memproduksi produk untuk daya tarik wisata. Para pelancong tersebut ingin menemukan dunia baru yang belum terlalu sesak oleh turis walau harus siap menerima sarana dan prasarana yang masih minim.

Pengalaman mengendarai sepeda motor di tempat baru pasti akan memberikan sensasi yang tak terlupakan, gugusan pulau di Sunda Kecil seperti memanggil untuk diarungi menggunakan sepeda motor. Variasi medan jalan yang beragam, sarana dan prasarana pendukung berlalu lintas yang masih minim informasi menambah rasa penasaran untuk menuju kesana. Dan pada akhirnya niat kuat untuk mewujudkan keinginan berada di atas motor merayapi pulau-pulau di Sunda Kecil bisa terlaksana, dan seperti apa kisahnya akan diceritakan di postingan selanjutnya.